Filosofi Arti Roti Buaya Betawi Sebenarnya
Roti buaya Betawi hantaran mutlak didalam prosesi pemikahan suku Betawi. Filosofi arti sebetulnya sebagai komponen mesti seorang pria dambakan menjadikan wanita pujaannya sebagai pasangan hidup. Tentu roti buaya merupakan rutinitas yang tidak dapat lekang bersama saat dan tidak dapat terlupakan saat seserahan pada saat seserahan pada saat akad nikah.
Roti buaya mesti disandingkan bersama beberapa hantaran lain seperti kain, baju, serta antaran lainnya. Jika diamati dari sejarahnya roti buaya udah terjadi berabad silam dan udah tersedia pada zaman Kolonial Belanda saat berkedudukan di Batavia. Tentu tidak serampangan suku Betawi memilih roti buaya bersama kepercayaan mereka pada buaya putih yang tidak dapat serampangan pula melihatkan wujudnya pada pertemuan kali yang bercabang pada saat itu sebagai penunggu Pesan Roti Buaya .
Napak Tilas
Pada zaman itu tentu kali yang membawa buaya putih berada dibeberapa tempat di Betawi atau Jakarta sekarang. Seperti di Kali Cideng, Kali Lebak Bulus, dan Kali Gunung Sahari. Sepasang buaya putih inilah yang tetap menjadi Kali Gunung Sahari sebagai penunggunya bersama nama Ki Srintil dan Ni Srintil. Memang kelihatannya angker tapi inilah cerita dari mereka awal adanya roti buaya yang menjadi komponen mutlak dan tidak boleh diabaikan kecuali pada prosesi akad nikah berlangsung.
Roti Buaya menjadi Budaya Betawi.
Sejarawan H.Irwan Sjafi’ie mengatakan sepasang roti buaya yang menjadi hantaran pengantin pria pada saat akad nikah membawa panjang 60-70 cm bergantung dari kekuatan ekonomi calon mempelai pria. Tentu kecuali ukurannya semakin panjang dapat merubah harga yang dapat dibayar oleh mempelai pria.
Persiapan sepasang roti buaya ini dapat dibawa ke rumah mempelai wanita sesudah dihias wama-wami bersama kertas minyak. Tentu hantaran ini sejalan bersama duwit mahar atau mas kawin, baju, selop, miniatur mesjid berupa duwit belanja, alat make-up, dll.
Kreatifitas mampu diamati dari adat suku Betawi ini seperti kain yang dihias berupa binatang seperti angsa, bebek, kelinci, dan kucing. Waktu seserahan terjadi dan cocok bersama adat, calon mempelai pria mesti membawa makanan yang sangat disukai oleh pengantin wanita saat kecil disebut bersama kekudung. Tentu kekudung ini mampu berupa pete, jengkol, ikan asin ataupun ikan teri.
Walaupun saat udah berubah bersama terjadinya asimilasi budaya bersama adanya percampuran suku tentu budaya ini tetap terpelihara bersama baik. Apabila wanita atau pria betawi menikah bersama pria atau wanita dari suku lain tetap roti buaya Betawi menjadi hantaran mesti yang mesti dibawa sebagai hantaran.
Filosofi Roti Buaya Betawi.
Menurut adat betawi sesudah akad nikah terjadi pengantin pria mesti ulang rumahnya sesudah disandingkan pada malam resepsi yang duduk dipelaminan puade hanya pengantin wanita. Roti buaya diletakan di tempok dekat pelaminan kecuali tersedia perubahan didalam bentuk warna pada roti buaya jika agak hangus makan para ibu yang mengucapkan selamat kepada penganten “Penganten Prianya Berkulit Hitam” canda ibu selanjutnya dan seterusnya.
Yang menjadi inti arti dari roti buaya ini adalah didalam positif seperti ‘buaya mesjid” yang berhubungan bersama rajin ibadah.Bukan arti buaya lain sebagai umpama “buaya darat , “mata buaya“ atau lain sebagainya.
Budaya ini tetap bertahan hingga sekarang pada prosesi pernikahan gara-gara merupakan suatu lambang bagi suami istri dimasa depan yang kuat, setia pada pasangan dan mapan didalam ekonomi. Sifat buaya sabar walaupun santai tapi mampu secara tiba-tiba melompat dan menerkam. Maknanya suku Betawi tetap sabar kecuali mereka dilecehkan tentu dapat melawan dan lebih-lebih dapat sulit untuk dihentikan.